Mengaku Pintar, Bodoh Saja Tak Punya
Blog post description.
11/7/20242 min read


Setelah sekian lama, akhirnya aku kembali membaca buku. Buku “Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya” karya Rusdi Mathari menjadi buku kedua yang kubaca. Buku ini sangat menarik, penuh dengan momen-momen "wow" dalam setiap percakapannya.
Buku ini ibarat tamparan bagi kesombongan yang sering melekat pada diri manusia. Seringkali kita merasa pintar, padahal "bodoh" pun belum tentu menjadi milik kita, seolah-olah dunia berputar mengelilingi kita.
Cerita ini menggambarkan kehidupan sehari-hari di sebuah desa, memperlihatkan interaksi antara para warganya seperti Cak Dlahom, Mat Piti, dan warga lainnya. Cak Dlahom digambarkan sebagai sosok yang sering dianggap gila karena penampilannya yang tidak seperti manusia “waras” pada umumnya. Namun, celotehan-celotehan dari Cak Dlahom ini sering kali tidak bisa dianggap sekadar ocehan orang gila, bahkan membuat manusia “waras” lainnya merenung dan berpikir.
Latar belakang kehidupan desa ini terjalin menjelang dan selama bulan Ramadhan, yang diakhiri dengan perayaan Idul Fitri. Cerita yang dikemas dengan ringan, namun sarat akan pesan mendalam.
Apakah benar kita merindukan bulan Ramadhan? Apakah kita benar-benar menyukai ibadah puasa Ramadhan dari lubuk hati kita, atau hanya karena sudah tertanam bahwa puasa Ramadhan itu hukumnya wajib? Pertanyaan-pertanyaan ini hanya kita sendiri dan Tuhan yang tahu jawabannya, dengan kejujuran tanpa embel-embel apa pun.
Buku ini membuatku berpikir dan menyadari bahwa sering kali kita hanya berpikir pada lapisan luar saja. Kita menyangka sudah menjadi manusia, hanya karena fisik kita manusia, lalu merasa berhak memberi cap pada segala hal. Sudah semanusia apakah kita? Sekali lagi, hanya kita yang mampu menjawabnya.
Seperti yang dikatakan Cak Dlahom, “Aku juga tak berani memberi cap kepada siapapun dengan apapun, puncak keberanianku hanya meremehkan diriku sendiri.”
------
After a long time, I finally picked up a book again. “Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya” by Rusdi Mathari became the second book I’ve read. It’s a really interesting read, with lots of "wow" moments in the dialogue.
This book is like a wake-up call, challenging the arrogance that often clings to us as humans. So often, we think we're smart, yet we haven’t even mastered being "foolish"—as if the world revolves around us.
The story is set in a small village, capturing everyday interactions among the villagers, like Cak Dlahom, Mat Piti, and others. Cak Dlahom is portrayed as someone often seen as crazy because he doesn’t fit the usual image of a “sane” person. But the things he says aren’t to be dismissed as mere ramblings—his words often make the so-called “sane” people stop and think.
The backdrop is everyday life in a village leading up to and during the month of Ramadan, ending with the celebration of Eid al-Fitr. It’s a story that’s light yet packed with deeper messages.
Do we really miss the month of Ramadan? Do we genuinely love fasting during Ramadan from the depths of our hearts, or is it just because we’ve been taught that fasting is an obligation? These are questions only we and God know the answers to—answered honestly, without any pretense.
This book made me realize that we often think only on the surface. We assume we're truly human just because we look human, then we feel entitled to judge everything. But how truly human are we, really? Again, only we can answer that for ourselves.
As Cak Dlahom puts it, “I don’t dare to label anyone with anything. My biggest courage is only in underestimating myself.”